Ilmu Yang Bermanfaat
Ilmu yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya ada yang
memberikan manfaat ada pula yang tidak. Di sisi lain, ada pula ilmu yang pada
asalnya sama sekali tidak memberikan manfaat, sehingga manusia harus
menjauhinya.
Allah telah menyebut ilmu dalam kitab-Nya Al Qur’an
terkadang dengan memujinya seperti dalam surat Az Zumar ayat 9:
“Katakanlah, adakah sama antara orang-orang yang mengetehui
dengan orang-orang yang tidak mengetehui? Sesungguhnya orang-orang berakallah
yang dapat menerima pelajaran”.
“Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan
yang telah bertemu. Segolongan berperang di jalan Allah dan yang lain kafir
yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang muslim dua kali jumlah
mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai mata hati”. (QS.Ali Imran:13)
Terkadang Allah menyebutnya dengan celaan. Ilmu yang Allah
puji itu adalah ilmu yang bermanfaat dan yang Allah cela adalah ilmu yang
asalnya tidak bermanfaat, atau bisa jadi pada asalnya bermanfaat, tapi orang
yang dikaruniainya tidak bisa mengambil manfaat darinya. Sebagaimana Allah
beritakan tentang sebuah kaum yang Allah beri ilmu namun ilmu itu tidak memberi
mereka manfaat.
Allah berfirman:
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat
kemudian mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa
kitab-kitab yang tebal. Amat buruklah kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah
itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang dzalim”. (QS. Al Jumuah:
5)
”Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami
berikan kepadanya ayat-ayat Kami. Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat
itu, lalu dia diikuti oleh setan (hingga dia tergoda), maka jadilah dia termasuk
orang-orang yang sesat”. (QS. Al A’raf: 175)
Dalam ayat ini maksudnya ilmu itu sesungguhnya bermanfaat
akan tetapi orang yang dikaruniai tidak bisa memanfaatkannya. Adapun ilmu yang
pada dasarnya dicela oleh Allah adalah seperti tercantum dalam surat Al Baqarah
ayat 102 dan surat Ar Rum ayat 7.
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca setan-setan pada masa
kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir),
hanya setan-setan itulah yang kafir (karena mengerjakan sihir). Mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan pada dua orang
malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut. Sedang keduanya tidak
mengajarkan sesuatu kepada seorangpun sebelum mengatakan: Sesungguhnya kami
hanya cobaan bagimu, karena itu janganlah kamu kafir.
Maka mereka mempelajari dari dua malaikat itu apa yang
dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang suami dengan istrinya.
Dan mereka itu tidak memberi mudharat kepada seorangpun dengan sihirnya
kecualin atas izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat
kepadanya dan tidak memberi manfaat.
Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa
menukar kitab Allah dengan sihir itu, tiadalah keuntungan baginya di akherat.
Dan amat jahatlah perbuatan mereka menukar dirinya dengan sihir kalau mereka
mengetahui”. (QS. Al Baqarah: 102)
“Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan
dunia, sedang mereka tentang kehidupan akherat adalah lalai”. (QS.Ar Rum: 7)
Karena ilmu itu ada yang terpuji yaitu yang bermanfaat dan
ada yang tercela yaitu yang tidak bermanfaat, maka kita dianjurkan untuk
memohon kepada Allah ilmu yang bermanfaat dan berlindung kepada-Nya dari ilmu
yang tidak bermanfaat. (Fadl Ilm Salaf: 11-13)
Ilmu yang Bermanfaat
Ibnu Rajab Al Hanbali menjelaskan tentang ilmu yang
bermanfaat. Beliau mengatakan, pokok segala ilmu adalah mengenal Allah
subhanahu wa ta’ala yang akan menumbuhkan rasa takut kepada-Nya, cinta
kepada-Nya, dekat terhadap-Nya, tenang dengan-Nya, dan rindu pada-Nya. Kemudian
setelah itu berilmu tentang hukum-hukum Allah, apa yang dicintai-Nya dan
diridhai-Nya dari perbuatan, perkataan, keadaan, atau keyakinan hamba.
Orang yang mewujudkan dua ilmu ini, maka ilmunya adalah ilmu
yang bermanfaat. Ia, dengan itu, akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, hati
yang khusyu’, jiwa yang puas, dan do’a yang mustajab. Sebaliknya yang tidak
mewujudkan dua ilmu yang bermanfaat itu, ia akan terjatuh ke dalam empat
perkara yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya. Bahkan
ilmunya menjadi bencana buatnya, ia tidak bisa mengambil manfaat darinya karena
hatinya tidak khusyu’ kepada Allah subhanahu wa ta’ala, jiwanya tidak merasa
puas dengan dunia, bahkan semakin berambisi terhadapnya. Doanyapun tidak
didengar oleh Allah karena ia tidak merealisasikan perintah-Nya serta tidak
menjauhi larangan-Nya dan apa yang dibenci-Nya.
Lebih-lebih apabila ilmu tersebut bukan diambil dari Al
Qur’an dan As Sunnah, maka ilmu itu tidak bermanfaat dan tidak ada manfaatnya
sama sekali. Yang terjadi, kejelekannya lebih besar dari manfaatnya.
Ibnu Rajab juga menjelaskan, ilmu yang bermanfaat dari semua
ilmu adalah mempelajari dengan benar ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam serta memahami maknanya sesuai dengan yang
ditafsirkan para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Lalu mempelajari apa
yang datang dari mereka tentang halal dan haram, zuhud dan semacamnya, serta
berusaha mepelajari mana yang shahih dan mana yang tidak dari apa yang telah
disebutkan.
Kemudian berusaha untuk mengetahui makna-maknanya dan memahaminya.
Apa yang telah disebut tadi sudah cukup bagi orang yang berakal dan menyibukkan
diri dengan ilmu yang bermanfaat. (Fadl Ilm Salaf Alal Khalaf 41, 45, 46, 52,
53)
Ilmu yang bermanfaat akan nampak pada seseorang dengan
tanda-tandanya, yaitu:
1. beramal dengannya.
2. benci disanjung, dipuji dan takabbur atas orang lain.
3. semakin bertawadhu’ ketika ilmunya semakin banyak.
4. menghindar dari cinta kepemimpinan, ketenaran dan dunia.
5. menghindar untuk mengaku berilmu.
6. bersu’udzan (buruk sangka) kepada dirinya dan husnudzan (baik sangka) kepada orang lain dalam rangka menghindari celaan kepada orang lain.
(Lihat Fadl Ilm Salaf Hal. 56-57 dan Hilyah Thalib Ilm Hal. 71)
2. benci disanjung, dipuji dan takabbur atas orang lain.
3. semakin bertawadhu’ ketika ilmunya semakin banyak.
4. menghindar dari cinta kepemimpinan, ketenaran dan dunia.
5. menghindar untuk mengaku berilmu.
6. bersu’udzan (buruk sangka) kepada dirinya dan husnudzan (baik sangka) kepada orang lain dalam rangka menghindari celaan kepada orang lain.
(Lihat Fadl Ilm Salaf Hal. 56-57 dan Hilyah Thalib Ilm Hal. 71)
Sebaliknya ilmu yang tidak bermanfaat juga akan nampak
tanda-tandanya pada orang yang menyandangnya yaitu:
1. tumbuhnya sifat sombong, sangat berambisi dalam dunia dan
berlomba-lomba padanya, sombong terhadap ulama, mendebat orang-orang bodoh, dan
memalingkan perhatian manusia kepadanya.
2. mengaku sebagai wali Allah subhanahu wa ta’ala. Atau merasa suci diri.
3. Tidak mau menerima yang hak dan tunduk kepada kebenaran, dan sombong kepada orang yang mengucapkan kebenaran jika derajatnya di bawahnya dalam pandangan manusia, serta tetap dalam kebatilan.
4. menganggap yang lainnya bodoh dan mencacat mereka dalam rangka menaikkan dirinya di atas mereka. Bahkan terkadang menilai ulama terdahulu dengan kebodohan, lalai, atau lupa sehingga hal itu menjadikan ia mencintai kelebihan yang dimilikinya dan berburuk sangka kepada ulama yang terdahulu.
2. mengaku sebagai wali Allah subhanahu wa ta’ala. Atau merasa suci diri.
3. Tidak mau menerima yang hak dan tunduk kepada kebenaran, dan sombong kepada orang yang mengucapkan kebenaran jika derajatnya di bawahnya dalam pandangan manusia, serta tetap dalam kebatilan.
4. menganggap yang lainnya bodoh dan mencacat mereka dalam rangka menaikkan dirinya di atas mereka. Bahkan terkadang menilai ulama terdahulu dengan kebodohan, lalai, atau lupa sehingga hal itu menjadikan ia mencintai kelebihan yang dimilikinya dan berburuk sangka kepada ulama yang terdahulu.
Comments
Post a Comment